Sadanis (Periksa Payudara Klinis) Cara Terbaik Cegah Kanker Payudara
Fakta, satu dari delapan wanita memiliki sel kanker payudara yang akan berkembang di sepanjang hidupnya. Di Indonesia, kanker payudara merupakan pembunuh nomor satu pada wanita.
Data Rumah Sakit Kanker Dharmais menyebutkan sebanyak 60%-70% penderita kanker payudara mencari perawatan pada stadium akhir. Tentu saja hal ini amat disayangkan. Semakin tinggi stadium yang ditemui maka tingkat keberhasilan pengobatan akan semakin kecil.
Di negara maju kasus kanker payudara banyak disembuhkan, karena kesadaran mereka untuk memeriksakan diri tinggi. Kalau pun mereka menemukan kasus kanker payudara masih tahap dini dan dapat disembuhkan.
Masih Kurang Kesadaran Lakukan Sadanis
Riset Penyakit Tidak Menular (PTM) 2016 menyatakan, perilaku masyarakat dalam deteksi dini kanker payudara di Indonesia masih rendah. Tercatat 53,7% masyarakat tidak pernah melakukan Sadari, sedangkan 46,3% pernah melakukan Sadanis, dan 95,6% masyarakat tidak pernah melakukan Sadanis (Periksa Payudara Klinis), sementara 4,4% pernah melakukan Sadanis.
“Kebanyakan perempuan masih kurang peduli untuk pemeriksaan dini. Karena belum merasa punya penyakit sehingga tidak mau melakukan pemeriksaan. Jika sampai diperiksa dan ketahuan penyakitnya lebih dini, orang akan menjadi stres dan takut. Padahal jika diketahui dini, akan dapat lebih cepat diobati, ” ungkap dr Niken Wastu Palupi, MKM, Kasubdit Penyakit Kanker & Kelainan Darah Kemenkes RI dalam diskusi “Lakukan Sadanis, Selamatkan Diri Sejak Dini” yang diselenggarakan Philips.
Karena itu menurut dr Niken, edukasi perlu diberikan terus menerus. Kalau edukasi hanya sekali saja, maka akan hilang. Edukasi rutin dapat dilakukan oleh yayasan, pemerintah, pihak swasta, dan lainnya. “Lakukan Sadari hanya sekitar 7-10 menit setiap bulan. Sadanis di Puskesmas gratis. Orang cenderung malas untuk melakukan Sadanis karena takut membayar mahal,” jelas dr Niken
“Sebetulnya dokter dan bidan dapat melakukan Sadanis. Sadanis dapat dilakukan di Puskesmas. Dapat dijangkau masyarakat, murah dan bahkan bisa gratis, Pemeriksaan menggunakan USG dan mamografi, Mamografi untuk saat ini hanya terdapat di rumah sakit besar. Dan Mamografi dapat dilakukan untuk mendeteksi kasus-kasus yang tidak ada gejala pada payudara. Jadi memang mesti harus ada kesadaran dari diri sendiri. Selama ini pemerintah telah berupaya keras untuk sosialisasi dan edukasi,” tambah dr Niken.
“Kalau tim YKPI ke daerah-daerah memang sudah ada masyarakat yang tahu Sadanis. Tetapi SDM-nya dalam hal ini dokter onkologi-nya tidak ada. Dari 164 spesialis bedah onkologi, 45 dokter sedang mengikuti pendidikan. Jadi jumlahnya minim. Selain SDM tidak banyak, alatnya juga tidak ada (di daerah-daerah selain kota besar). Saya harap dengan era otonomi daerah, pemerintah daerah mengupayakan ketersediaan alat seperti mamografi,” jelas Linda Gumelar, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) yang ikut hadir dalam forum ini.
Benjolan Belum Tentu Kanker Payudara
“Yang saya jumpai banyak wanita yang tidak merasakan sakit. Mungkin ada benjolan yang perlu dicurigai, walau tidak setiap benjolan itu merupakan kanker. Benjolan itu harus diperiksa apakah tumor, kista, atau kanker. Jangan pernah ragu untuk segera periksa. Jangan merasa sungkan, karena tidak mau merepotkan keluarga dan awal dari kanker ini tidak terdapat rasa sakit, maka membuat banyak wanita tidak mau periksa,” ungkap DR. dr. Samuel J. Haryono, SpB (K), spesialis bedah onkologi yang ikut hadir dalam seminar tersebut.
“Saya banyak menemui wanita yang enggan memeriksakan diri.Kalau tidak merasa ada urgency-nya, para perempuan tidak akan periksa. Masih banyak orang-orang kurang mawas diri. Ketidaktahuan juga menjadi salah satu faktor banyaknya ,” jelas Dr Samuel.
Apa yang menjadi penyebab kanker ? Penyebab kanker payudara hingga sekarang menurut DR Samuel belum diketahui penyebab persisnya. Tetapi statistik menyatakan ada beberapa faktor risiko. Di antaranya usia, menurut DR Samuel data statistik menyebutkan pada usia 30 tahun maka kasus kanker payudara itu memiliki perbandingan 1 per 200 orang.
“Selain itu lifestyle seperti alkohol, lemak, obat-obatan dan rokok dapat memicu kanker payudara. Ada juga faktor genetik hanya 5-10% saja. Tetapi banyak anggapan bahwa karena tidak ada riwayat keluarga yang ke sehingga jadi malas untuk memeriksa dini. Untuk itu harus tetap Sadani”, tegas Dr Samuel.
Siapapun Perlu Waspada Payudara
Philips memiliki komitmen untuk meningkatkan kesehatan di seluruh dunia hingga 3 miliar orang per tahun hingga tahun 2025. Philips menyelenggarakan berada event, termasuk seminar tentang kanker payudara. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kesadaran untuk deteksi dini payudara.
“Memang kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Edukasi pemerintah tetap diperlukan. Namun, akan butuh waktu lama untuk mencapai seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, dengan penyebaran tentang kanker payudara antar masyarakat juga diperlukan. Jangan pernah terlambat untuk Sadani,” jelas Suryo Suwignjo, Presiden Direktur Philips Indonesia
Berbeda dengan Indonesia, masih banyak perempuan merasa enggan untuk melakukan pemeriksaan. Mereka merasa takut kalau ditemukan kanker payudara. “Jangankan di daerah, di kota besar seperti Jakarta saja, dengan tingkat pendidikan tinggi masih banyak perempuan yang sungkan memeriksakan dirinya. Padahal, saat ini banyak rumah sakit yang menyediakan mammorafi untuk pemeriksaan,” ungkap Suryo.
Sebuah studi baru hasil investigasi Weill Cornell Medicine yang dipimpin oleh dr Elizabeth Arleo, Agustus 2017 lalu, menunjukkan bahwa mammogram pada wanita berusia antara 40 sampai 80 tahun dapat mengurangi kematian akibat kanker payudara hingga 40%, dibandingkan dengan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh American Cancer Society dan US Preventive Services Task Force dapat menurunkan angka kematian hingga 23-31% apabila pemeriksaan rutin yang dilakukan pada usia yang lebih lanjut.
Sedangkan, sebuah studi terhadap Mammografi MicroDose (dosis sinar X rendah) Philips tahun 2014 mengenai: “Pemeriksaan Mammografi digital dengan teknik menghitung energi elektromagnetik atau photon-counting: Dapatkah sebuah kinerja diagnostik direalisasikan pada mean glandular dose (MGD) rendah?”, memperlihatkan bahwa sistem MicroDose Philips memungkinkan pendeteksian small invasive cancers dan DCIS melewati yang diharapkan sesuai dengan acuan sistem di Eropa.
Secara teknis Microdose ini menggunakan detektor khusus yang mampu menghitung energi photon secara langsung menggunakan Photon Counting detector (special detector) sehingga hanya Photon dengan energi level tertentu yang akan terkirim menembus jaringan payudara dan diterima oleh detektor. MicroDose juga memiliki kualitas pencitraan gambar yang sangat baik dengan dosis radiasi 50-60% lebih rendah dibanding mammography DR yang lain.
“Memang kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan. Edukasi pemerintah tetap diperlukan. Namun, akan butuh waktu lama untuk mencapai seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, dengan penyebaran tentang kanker payudara antar masyarakat juga diperlukan. Jangan pernah terlambat untuk Sadanis,” jelas Suryo.